Rumah Masa Depan
https://mystorymyhistorical.com
Mungkin dengan dalih seperti itu, ayah dan ibuku mengirimku ke PONDOK PESANTREN RIYADHUL MUBTADIIN ALHASANAH yang berlokasi di wilayah Bogor Barat. Mereka tidak ingin jika nanti putri mereka menjadi seorang gadis muslimah namun tidak tau tentang hukum agama. Miris memang, ketika seorang muslim atau muslimah yang bertuliskan agama islam di KTP tapi tidak mengetahui apa itu islam, aturan yang ada didalamnya, segala bentuk perintah dan larangan Allah, semuanya. Apakah patut disebut sebagai seorang mukmin? Pertanyaan itu sempat membenak difikiranku. Apakah seorang muslim dikatakan beriman ketika tidak beribadah kepada Sang Maha Agung? Bagaimana dengan keislamannya? Aku gadis berumur delapan belas tahun yang bersikap kritis terhadap suatu hal. Hal sekecil apapun akan aku permasalahkan. Bukan memikirkan masalahnya, tapi solusinya. Karena sejatinya tidak ada gunanya bagi manusia yang hanya memikirkan masalah namun tidak solusinya.
Mungkin itulah salah satu tujuanku masuk ke pesantren. Aku ingin memecahkan setiap permasalah dalam hidupku, lewat lantunan ayat suci Alquran, keramaian orang orang yang membaca kitab, riangnya anak anak yang hafalan, itu bisa memotivasiku untuk terus melangkah maju. Mereka bisa, kenapa aku tidak? Dengan bimbingan dan arahan dari orang orang yang hebat, para ustadz dan ustadzah insya Allah aku mampu dan bisa menyelesaikan setiap permasalahan dalam hidupku.
Pada awal masuk pesantren memang terasa sangat asing. Bagaimana tidak, lingkungan, atap berteduh, teman, suasana, keadaan, guru semuanya terlihat berbeda. Mereka baru buatku. Dan tentu saja aku harus bisa beradaptasi.
Hari pertama di pesantren aku dibuat terheran heran oleh kelakuan teman gadisku yang baru aku kenal tadi pagi ketika pertama kali aku menginjakkan kaki ku di pondok pesantren yang terlihat gagah itu. Bagaimana tidak, dia membuatku diam ketika ada orang yang bertanya kepada kami tentang seorang laki laki yang berlari. Kami melihatnya siang ini, ketika kami ditugaskan untuk membeli alat pel di sebrang jalan pondok pesantren. Namun 'Ipit' nama panggilan untuk temanku itu dia mengatakan bahwa dia tidak melihatnya.
"Maaf pak, selama kami berdiri kami tidak melihat ada orang yang berlari kesini".
Spontan aku dibuat kaget olehnya. Bagaimana bisa dia berkata demikian? Bukankah kami melihat seorang pria kira-kira berusia empat puluh tahun an berlari ke arah kami yang saat itu sedang duduk menikmati camilan yang kami beli sekalian di warung tadi. Kenapa dia bicara seolah-olah memang tidak ada siapa-siapa?
"Ipit, kamu berbohong. Dan bohong itu dosa. " tegurku.
"Fa, kasus kita ini sama hal nya dengan kasus pada zaman Rasulullah SAW. Ketika beliau sedang duduk, tiba tiba ada seorang laki-laki yang berlari ke arah beliau. Dan diikuti oleh orang lain yang juga berlari mengejar seseorang itu. Lalu beliau baginda Rasulullah bangkit berdiri. Dan ketika orang yang mengejar pria itu bertanya kepada baginda 'ya Rasulallah, adakah engkau melihat seseorang berlari ke arah anda?' . lalu Rasulullah SAW berkata 'selama aku berdiri aku tidak melihat ada orang berlari melewatiku' ". Jelas Ipit.
"Kok bisa begitu, Pit?"
"Fa, kita tidak tau siapa mereka. Mungkin orang yang dikejar tadi adalah orang yang memiliki hutang demi keluarganya, dan dia belum punya uang untuk membayarnya. Dan bagaimana kalau orang yang mengejar pria tadi adalah rentenir? Bagaimana kalau nantinya orang yang dikejar tadi dipukuli terus terluka? Bukankah itu aib? Dan lagipula aku tidak berbohong. Kejadian kita sama dengan apa yang dialami oleh Rasulullah. Kita sedang duduk ketika pria itu berlari, sebelum datangnya orang kedua itu, lalu kita berdiri bukan?"
Keningku sedikit berkerut mendengar ucapan dari teman yang baru aku kenal lima jam yang lalu itu. Dengan sedikit sunggingan senyum dibibir gadis hitam manis itu dia melanjutkan kalimatnya
"Itu politik". Ipit mengakhiri kalimatnya dengan gelakan tawa. Entah apa yang lucu. Mungkin karena ekspresi wajahku yang melongo ketika mendengar penuturan dari temanku itu.
Aku tidak habis fikir, apa benar seperti itu? Temanku yang satu ini mengajariku satu hal. Menutupi aib.
Hari hari yang aku alami di pesantren pada awalnya sangat membosankan. Hafalan ini hafalan itu, banyak goror, ketika ingin mandi kita harus mengantri, belum lagi teman temanku yang jahil sampai sampai sendal jepitku mereka lempar ke atas pohon mangga yang letaknya tidak jauh dari kamar mandi santriyyat di sebelah barat Majlis utama. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. meskipun begitu bukan berarti aku manja. Namun memang ketika di rumah aku tidak pernah bekerja yang berat. Kalau hanya menyapu aku bisa. Tetapi ketika mencuci pakaian, aku tidak mampu melakukannya. Karena ketika dirumah, kakak atau ibuku yang melakukannya.
Namun, setelah ayah dan ibu memutuskan untuk mengirim putrinya ke pesantren ini aku dituntut untuk belajar mandiri. Pakaian yang dulu dicuci oleh ibu, kali ini aku harus melakukannya sendiri. Ketika aku lapar maka aku harus berusaha sendiri untuk mendapatkan makanan. Masak sendiri, cuci baju, mengepel, menyapu dan lain lain. Walaupun pada dasarnya dilakukan bersama sama dengan santriyyat lainnya tetap saja aku ikut terlibat dan aku juga merasakan lelah nya bekerja. Aku sadar ternyata semua itu memiliki hikmah. Di pesantren, aku dituntut untuk mandiri, bertanggung jawab, ketika ada masalah aku tidak lagi bersembunyi dibalik kehangatan ibuku, tapi aku harus berusaha memecahkan masalahku sendiri. Perlahan, semua kegiatan rutinitas seperti grebeg ngaji, goror bersama, mencuci pakaian bersama santriyyat lainnya dengan 'kobak' super besar yang mungkin mampu menampung tiga puluh orang, membuatku tergugah.
"Asik juga" fikirku.
Tiga bulan aku menuntut ilmu di pesantren Mubtadiin ini. Namun, aku belum bisa menguasai apapun. Amil, jurumiyyah, imriti, semuanya terdengar aneh ditelingaku. Iya, memang aku gadis yang lumayan awam dalam hal seperti itu. Aku sampai dibuat bingung ketika ustadz Ari menjelaskan tentang rofa, nasob, jeer dan jazem saat sedang gerebeg ngaji.
"Para santriyyin dan santriyyat hidup itu jangan sampai seperti jeer dan jazem. Dimana jazem menurut bahasa adalah 'al-qot'u' yang berarti sesuatu yang memutuskan. Jadi suatu hal apapun yang memutuskan itu adalah jazem menurut bahasa. Jazem itu merusak, karena dia sifatnya memutus. Entah itu memutuskan tali silaturrahmi, tali persahabatan, memutuskan ikatan keluarga, dan memutus ikatan yang lainnya. Tapi hiduplah seperti rofa dan nasob. Karena rofa adalah 'al-uluwwu' yang berarti sesuatu yang dibilang atas. Sementara nasob adalah 'al-istiqomatu' yang berarti diam atau istiqomah. Kenapa demikian? Hidup seperti rofa dan nasob sangatlah menguntungkan untuk kita. Bagaimana tidak? Kita harus bisa seperti rofa karena dia berada di atas. Diibaratkan seseorang yang tinggi derajatnya. Bukankah kita menginginkan derajat yang tinggi, bukan hanya dimata manusia tapi juga dimata Allah? Dengan beramal yang soleh, dan taqwa kepada Allah menjadi salah satu solusinya. Sementara nasob, dia istiqomah. Istiqomah terhadap apapun hal yang positif. Istiqomah untuk menuntut ilmu, beribadah kepada Allah, istiqomah dalam melakukan hal yang positif. Artinya tidak setengah setengah. Kemarin solat, tapi besok nya tidak. Jika hidup terus seperti itu, bagaimana kita akan mendapatkan kebahagiaan? Hidup kita, kita yang tentukan, ikhtiar kita lakukan, hasilnya hanya kepada Allah kita serahkan".
Begitu penuturan ustadz Ari. Aku setengah terkejut sekaligus terpana mendengar ulasan dari ustadz yang tampan dan gagah itu. Ilmu nahwu bisa dikaitkan dengan kehidupan di dunia? Ahh.. Aku fikir sulit untuk ku cerna. Aku tidak bodoh, tetapi jika harus mencerna suatu hal dengan praktis aku fikir tidak, karena semua membutuhkan proses.
Dari semua kegiatan yang kulakukan di pesantren ada satu kegiatan yang sangat aku sukai, yaitu goror atau gotong royong. Dimana goror ini melibatkan semua sanrriyyin dan santriyyat. Karena hanya pada saat goror dan grebeg ngaji kami dikumpulkan. Jadi otomatis kami bisa berinteraksi disana. Walau dibatasi namun itu sudah cukup untuk menghilangkan rasa jenuh. "Cuci mata" ucap salah satu santriyyat. Nakal memang. Tapi bukan hanya aku para santriyyat yang lain juga mengambil kesempatan yang tidak datang setiap hari itu. Menurutku wajar jika laki laki dan perempuan yang sudah cukup dewasa atau baligh melakukan suatu interaksi yang kufikir semua orang tau. Namun ternyata dugaanku salah.
Ternyata dalam islam tidak mengenal suatu hal yang disebut sebagai pacaran. Jangankan pacaran, berduaan dengan laki laki yang bukan mahrom saja sudah dilarang. Malah pondok pesantren yang aku tempati ini memiliki paratutan yang sangat ketat. Para santriyyin dan santriyyat yang ketahuan berduaan tanpa didampingi mahromnya akan dikenakan sanksi atau hukuman. Dan 'kabar baik' nya aku pernah mengalami hal tersebut dimana aku ditonton oleh banyaknya santriyyin dan santriyyat yang lalu lalang melewatiku yang sedang berdiri tegak di lapangan pesantren. Masalahnya aku ketahuan berduaan dengan kak Sofyan, kakak seniorku yang sudah tiga tahun mondok di pesantren Alhasanah ini. Aku tidak punya niat apapun, aku hanya berniat untuk meminjam buku tasrifan milik kak Sofyan karena teman teman ku belum ada yang punya, hanya kak Sofyan yang memilikinya. Maklum, dia adalah salah satu dari banyaknya santriyyin pesantren yang cerdas. Dan aku selanjutnya. Salahnya aku berangkat sendiri ke wilayah Rayon putra tanpa didampingi teman atau siapapun, jadi konsekuensi aku tanggung sendiri. Suara ustadz Nabil masih terngiang ditelingaku hingga kini.
"Anti, ya ukhti. Kenapa anda disini. Lancang sekali anda memasuki area ikhwan tanpa izin. Para akhwat dilarang masuk ke area ikhwan dengan alasan apapun".
Allah, aku tidak bisa berkata apa apa. Aku hanya diam seribu kata. Ustadz Nabil memelototiku yang sedang tertunduk malu. Kumisnya yang lebat semakin membuatku merasa takut untuk menatapnya. Para ikhwan ada yang sampai nongol dari jendela sampai akhirnya disuruh masuk kembali oleh ustadz. Mungkin mereka bertanya-tanya ada apa gerangan dengan ustadz hingga beliau berteriak dengan nada marah seperti itu. Sungguh malu diri ini mungkin kak Sofyan juga sama. Ah, kasian sekali dia gara-gara aku dia jadi terlibat masalah. Saat itu juga kami langsung dibawa ke kantor BP.
Dan hukuman yang kami terima adalah berdiri di tengah lapangan dengan matahari yang tepat berada diatas ku. Tentu saja dalam posisi yang berbeda, aku menghadap ke arah barat sementara kak Sofyan menghadap ke arah timur, kami saling membelakangi dengan jarak kira-kira 5 meter. Tetapi jujur aku katakan, sedikitpun aku tidak punya rasa benci dan dendam kepada ustadz. Malah semua itu aku jadikan motivasi dan pengalaman. Dengan kepala tertunduk namun sesekali aku lirikkan mataku ke kanan dan ke kiri melihat orang-orang yang melihatku dengan tatapan yang sinis. Aku berkata dalam hati kenapa bisa seperti ini? Ketika di kampungku di Bekasi laki-laki dan perempuan yang berduaan sudah bukan hal yang tabu. Malahan mereka dengan sengaja memamerkan kemesraan mereka kepada orang banyak. Namun ketika disini justru berbanding terbalik. Aku malah merasa menjadi seorang anak yang terbuang dengan hanya melakukan satu kesalahan saja, berduaan dengan laki-laki. Tidak sampai disitu, ketika aku kembali ke rayon dan masuk kamar teman-temanku malah mengejekku. Entah apa yang mereka fikirkan tentang diriku. Namun satu teman menjawab pertanyaanku.
"Fa, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang berdua-dua an. Islam tidak mengajarkan hal tersebut, islam itu agama yang suci. Hingga ketika memakai sendal dan pakaian pun ada aturannya. Apalagi ini, hal yang menyangkut kehormatan seorang gadis. Orang tidak berfikir sama semua, Fa. Mereka memliki persepsinya masing-masing.
Ketika ada orang yang melihat kamu dan laki-laki sedang berdua an, ada yang berfikir 'oh mungkin cuma ngobrol biasa' tetapi ada juga Yang berfikir 'Ada apa nih, kok berdua-duan an, jangan jangan.. 'Jika sudah seperti itu kamu sudah membuat orang berdosa dengan suuzan kepada kalian, nantinya Akan timbul fitnah. Kamu tau, 'alfitnatu asyadu minal qotli' fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Tidak ada pacaran dalam Islam. Karena hanya Ada tiga hal yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pria ketika kepincut oleh wanita. Yaitu:khitbah, taaruf Dan aqdunnikah. Aku harap kamu mengerti kenapa ustadz Nabil begitu Marah kepada kalian berdua".
Sesekali aku garuk-garuk kepala mendengar omongan atau lebih tepatnya ceramahan yang disampaikan temanku itu kepada diriku. Sofi namanya. Dia cantik, Dan juga pandai. Tapi tetap lebih pandai aku. Hehe
Pada akhirnya aku faham atas apa yang telah Sofi katakan padaku. Benar sekali, islam tidak membolehkan pacaran. Karena itu Akan sangat mengganggu proses belajar. Yang tadinya kita dituntut untuk memikirkan ilmu, tetapi gara-gara pacaran malah jadi memikirkan laki-laki. Pacaran hanya buang-buang waktu dan hanya membuat patah hati, dominan seperti itu. Bagaimanpun kita tidak pernah tau siapa jodoh kita. Memiliki jalinan kasih bersama seorang pria dalam kurun waktu yang cukup lama namun akhirnya menderita, karena Allah tidak menakdirkan bersama.
Miris sekali melihat kebanyakan anak muda zaman Semarang lebih mengedepankan pacaran daripada ilmu. Seolah-olah mereka gengsi jika tidak memiliki kekasih. Namun mereka seakan-akan bersikap tidak peduli ketika ditanya sifat wajib, mustahil, dan jaiz di Allah, rukun solat ada berapa, fardu wudhu ada berapa, atau bahkan mereka tidak solat? Na'udzu Billahi Mindzalik.
Aku beruntung bisa belajar di pesantren ini. Walaupun letaknya sangat jauh denganku yang berdomisili di Bekasi. Namun semua itu tidak menjadi penghalang untukku mengejar ilmu. Aku mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman disana, juga memiliki teman-teman Yang baik namun cukup membuatku kesal.
Ipit, sahabat pertamaku. Memiliki nama lengkap Fitri Nurhasanah, namun dia lebih suka jika orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ipit. Dia gadis yang unik, memiliki kulit hitam manis namun tetap cantik dengan tahi lalat dipipinya. dia akan marah jika poster Pretty Zinta Yang tersenyum lebar dengan memakai lehenga biru itu kami copot dari rayon dinding kamar kami. Dan aku salah satu korban kemarahannya. Walaupun demikian, tetap tidak mengusik rasa sayangku padanya.
Sofi, sahabat yang menceramahiku mengenai pacaran itu memiliki nama lengkap Siti Sofianti. Gadis yang sangat lugu, cerdas, dan anggun dengan selalu memakai bros bunga mawar di kerudungnya. Aisyah, sahabatku yang satu ini benar-benar keras kepala, tingkahnya lebih mirip dengan laki-laki. Dia jahil, paling jahil diantara kami. Dia pernah mengunci pintu kamar mandi santriyyat yang didalamnya ada kakak kelas, namun dia harus menerima resiko mengepel seluruh kamar mandi santriyyat. Sebuah perilaku yang tidak patut ditiru. Meskipun begitu, dia baik kepada siapapun. Dia bahkan rela meminjamkan sendalnya padaku walau dia sendiri kesakitan karena tidak pakai sandal. Memang, Allah menciptakan manusia dengan sejuta kelebihan dan kekurangan.
Fuji, nama lengkapnya Siti Fauziatul Hikmah. Kenapa dipanggil Fuji? Bukankah nama itu dominan dipakai oleh kaum Adam, seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo, Ikang Fawzi, dan masih banyak lagi. Kenapa tidak Hikmah, lebih feminin? Ternyata jawabannya adalah nama Fuji mengingatkan ibunda Fuji kepada tempat dimana ibu dan ayahnya bertemu untuk pertama kalinya. Yaitu gunung tertinggi di Jepang, gunung Fujiyama atau gunung Fuji yang terletak di perbatasan Prefektur Shizouka, dan Yamanashi, di sebelah Barat Tokyo. Unik sekali, mengaitkan nama anak dengan nama tempat.
Fuji. Temanku yang sangat cengeng, dia gampang sekali menangis untuk hal-hal yang kecil. Seperti ditinggal sendiri di kamar mandi. Padahal itu memang lumrah dilakukan. Namun pada dasarnya Fuji memang penakut. Aku pernah mengagetkannya dengan satu boneka seram, jadinya dia tidak bicara padaku selama satu hari. "Tidak akan aku ulangi lagi, Ji". Katakku dengan sedikit permohonan maaf, beruntung dia tidak seperti Aisyah yang kalau marah akan sampai berhari-hari.
Aku sangat menyukai duniaku di pesantren. Begitu indah, dan mengesankan. Banyak pengalaman dan kejadian unik yang tersimpan rapi di memori ingatanku. Aku cinta dengan majlis ilmu ini hingga aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku di pesantren milik HJ. Ratu Rahmawati spdi. Ini. Dan alhamdulillah Allah mengabulkan doa-doa ku itu.
Sampai sekarang aku menjadi guru atau Ustadzah dibagian ilmu tajwid. Hari-hari kuhabiskan di pesantren hingga tempat menimba ilmu ini sudah menjadi rumahku sendiri. Allah mempunyai banyak rencana, siapa sangka jika kak Sofyan yang dulu dihukum bersamaku itu menjadi imamku untuk dunia dan akhitatku, menjadi ayah dari Siti Mikayla Khanza Sofyan putriku. Pondok Pesantren Riyadhul Mubtadiin Alhasanah ini adalah rumahku, rumah masa depanku. Aku tinggal disini bersama keluarga kecilku, sementara teman-temanku memiliki kesibukan masing-masing di luaran sana.
"Pagi mengawaliku melangkah menuju majlis ilmu,
senyuman ayah dan ibu mendorongku untuk terus maju untuk menembus dinding ilmu,
lelah tak kufikirkah, jarak bukan halangan, semua ikhlas kulakukan karena-Mu,
Allah, kau taburkan kasih sayang padaku dengan membawaku menuju jalan syurga-Mu,
sebuah tempat dimana ku menemukan kedamaian, kenyamanan, dan sebuah tempat yang menghantarkan ku menuju masa depan"
Namaku Syifa, Syifa Fahira. Aku gadis biasa yang lahir dari keluarga sederhana. Namun, cita cita ayah dan ibuku untuk menjadikanku seorang ustazah sangat besar. Mungkin lebih tepatnya sebagai seorang yang berilmu. Hidup di zaman milenial seperti sekarang ini banyak orang yang menganggap ilmu agama adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan. Orang orang lebih senang membicarakan masalah duniawi daripada masalah akhirat, orang lebih sibuk membaca status orang di media sosial daripada Alquran, orang lebih mementingkan pekerjaan daripada kewajibannya sebagai seorang hamba yang wajib beribadah kepada sang Maha Pencipta.
Mungkin dengan dalih seperti itu, ayah dan ibuku mengirimku ke PONDOK PESANTREN RIYADHUL MUBTADIIN ALHASANAH yang berlokasi di wilayah Bogor Barat. Mereka tidak ingin jika nanti putri mereka menjadi seorang gadis muslimah namun tidak tau tentang hukum agama. Miris memang, ketika seorang muslim atau muslimah yang bertuliskan agama islam di KTP tapi tidak mengetahui apa itu islam, aturan yang ada didalamnya, segala bentuk perintah dan larangan Allah, semuanya. Apakah patut disebut sebagai seorang mukmin? Pertanyaan itu sempat membenak difikiranku. Apakah seorang muslim dikatakan beriman ketika tidak beribadah kepada Sang Maha Agung? Bagaimana dengan keislamannya? Aku gadis berumur delapan belas tahun yang bersikap kritis terhadap suatu hal. Hal sekecil apapun akan aku permasalahkan. Bukan memikirkan masalahnya, tapi solusinya. Karena sejatinya tidak ada gunanya bagi manusia yang hanya memikirkan masalah namun tidak solusinya.
Mungkin itulah salah satu tujuanku masuk ke pesantren. Aku ingin memecahkan setiap permasalah dalam hidupku, lewat lantunan ayat suci Alquran, keramaian orang orang yang membaca kitab, riangnya anak anak yang hafalan, itu bisa memotivasiku untuk terus melangkah maju. Mereka bisa, kenapa aku tidak? Dengan bimbingan dan arahan dari orang orang yang hebat, para ustadz dan ustadzah insya Allah aku mampu dan bisa menyelesaikan setiap permasalahan dalam hidupku.
Pada awal masuk pesantren memang terasa sangat asing. Bagaimana tidak, lingkungan, atap berteduh, teman, suasana, keadaan, guru semuanya terlihat berbeda. Mereka baru buatku. Dan tentu saja aku harus bisa beradaptasi.
Hari pertama di pesantren aku dibuat terheran heran oleh kelakuan teman gadisku yang baru aku kenal tadi pagi ketika pertama kali aku menginjakkan kaki ku di pondok pesantren yang terlihat gagah itu. Bagaimana tidak, dia membuatku diam ketika ada orang yang bertanya kepada kami tentang seorang laki laki yang berlari. Kami melihatnya siang ini, ketika kami ditugaskan untuk membeli alat pel di sebrang jalan pondok pesantren. Namun 'Ipit' nama panggilan untuk temanku itu dia mengatakan bahwa dia tidak melihatnya.
"Maaf pak, selama kami berdiri kami tidak melihat ada orang yang berlari kesini".
Spontan aku dibuat kaget olehnya. Bagaimana bisa dia berkata demikian? Bukankah kami melihat seorang pria kira-kira berusia empat puluh tahun an berlari ke arah kami yang saat itu sedang duduk menikmati camilan yang kami beli sekalian di warung tadi. Kenapa dia bicara seolah-olah memang tidak ada siapa-siapa?
"Ipit, kamu berbohong. Dan bohong itu dosa. " tegurku.
"Fa, kasus kita ini sama hal nya dengan kasus pada zaman Rasulullah SAW. Ketika beliau sedang duduk, tiba tiba ada seorang laki-laki yang berlari ke arah beliau. Dan diikuti oleh orang lain yang juga berlari mengejar seseorang itu. Lalu beliau baginda Rasulullah bangkit berdiri. Dan ketika orang yang mengejar pria itu bertanya kepada baginda 'ya Rasulallah, adakah engkau melihat seseorang berlari ke arah anda?' . lalu Rasulullah SAW berkata 'selama aku berdiri aku tidak melihat ada orang berlari melewatiku' ". Jelas Ipit.
"Kok bisa begitu, Pit?"
"Fa, kita tidak tau siapa mereka. Mungkin orang yang dikejar tadi adalah orang yang memiliki hutang demi keluarganya, dan dia belum punya uang untuk membayarnya. Dan bagaimana kalau orang yang mengejar pria tadi adalah rentenir? Bagaimana kalau nantinya orang yang dikejar tadi dipukuli terus terluka? Bukankah itu aib? Dan lagipula aku tidak berbohong. Kejadian kita sama dengan apa yang dialami oleh Rasulullah. Kita sedang duduk ketika pria itu berlari, sebelum datangnya orang kedua itu, lalu kita berdiri bukan?"
Keningku sedikit berkerut mendengar ucapan dari teman yang baru aku kenal lima jam yang lalu itu. Dengan sedikit sunggingan senyum dibibir gadis hitam manis itu dia melanjutkan kalimatnya
"Itu politik". Ipit mengakhiri kalimatnya dengan gelakan tawa. Entah apa yang lucu. Mungkin karena ekspresi wajahku yang melongo ketika mendengar penuturan dari temanku itu.
Aku tidak habis fikir, apa benar seperti itu? Temanku yang satu ini mengajariku satu hal. Menutupi aib.
Hari hari yang aku alami di pesantren pada awalnya sangat membosankan. Hafalan ini hafalan itu, banyak goror, ketika ingin mandi kita harus mengantri, belum lagi teman temanku yang jahil sampai sampai sendal jepitku mereka lempar ke atas pohon mangga yang letaknya tidak jauh dari kamar mandi santriyyat di sebelah barat Majlis utama. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. meskipun begitu bukan berarti aku manja. Namun memang ketika di rumah aku tidak pernah bekerja yang berat. Kalau hanya menyapu aku bisa. Tetapi ketika mencuci pakaian, aku tidak mampu melakukannya. Karena ketika dirumah, kakak atau ibuku yang melakukannya.
Namun, setelah ayah dan ibu memutuskan untuk mengirim putrinya ke pesantren ini aku dituntut untuk belajar mandiri. Pakaian yang dulu dicuci oleh ibu, kali ini aku harus melakukannya sendiri. Ketika aku lapar maka aku harus berusaha sendiri untuk mendapatkan makanan. Masak sendiri, cuci baju, mengepel, menyapu dan lain lain. Walaupun pada dasarnya dilakukan bersama sama dengan santriyyat lainnya tetap saja aku ikut terlibat dan aku juga merasakan lelah nya bekerja. Aku sadar ternyata semua itu memiliki hikmah. Di pesantren, aku dituntut untuk mandiri, bertanggung jawab, ketika ada masalah aku tidak lagi bersembunyi dibalik kehangatan ibuku, tapi aku harus berusaha memecahkan masalahku sendiri. Perlahan, semua kegiatan rutinitas seperti grebeg ngaji, goror bersama, mencuci pakaian bersama santriyyat lainnya dengan 'kobak' super besar yang mungkin mampu menampung tiga puluh orang, membuatku tergugah.
"Asik juga" fikirku.
Tiga bulan aku menuntut ilmu di pesantren Mubtadiin ini. Namun, aku belum bisa menguasai apapun. Amil, jurumiyyah, imriti, semuanya terdengar aneh ditelingaku. Iya, memang aku gadis yang lumayan awam dalam hal seperti itu. Aku sampai dibuat bingung ketika ustadz Ari menjelaskan tentang rofa, nasob, jeer dan jazem saat sedang gerebeg ngaji.
"Para santriyyin dan santriyyat hidup itu jangan sampai seperti jeer dan jazem. Dimana jazem menurut bahasa adalah 'al-qot'u' yang berarti sesuatu yang memutuskan. Jadi suatu hal apapun yang memutuskan itu adalah jazem menurut bahasa. Jazem itu merusak, karena dia sifatnya memutus. Entah itu memutuskan tali silaturrahmi, tali persahabatan, memutuskan ikatan keluarga, dan memutus ikatan yang lainnya. Tapi hiduplah seperti rofa dan nasob. Karena rofa adalah 'al-uluwwu' yang berarti sesuatu yang dibilang atas. Sementara nasob adalah 'al-istiqomatu' yang berarti diam atau istiqomah. Kenapa demikian? Hidup seperti rofa dan nasob sangatlah menguntungkan untuk kita. Bagaimana tidak? Kita harus bisa seperti rofa karena dia berada di atas. Diibaratkan seseorang yang tinggi derajatnya. Bukankah kita menginginkan derajat yang tinggi, bukan hanya dimata manusia tapi juga dimata Allah? Dengan beramal yang soleh, dan taqwa kepada Allah menjadi salah satu solusinya. Sementara nasob, dia istiqomah. Istiqomah terhadap apapun hal yang positif. Istiqomah untuk menuntut ilmu, beribadah kepada Allah, istiqomah dalam melakukan hal yang positif. Artinya tidak setengah setengah. Kemarin solat, tapi besok nya tidak. Jika hidup terus seperti itu, bagaimana kita akan mendapatkan kebahagiaan? Hidup kita, kita yang tentukan, ikhtiar kita lakukan, hasilnya hanya kepada Allah kita serahkan".
Begitu penuturan ustadz Ari. Aku setengah terkejut sekaligus terpana mendengar ulasan dari ustadz yang tampan dan gagah itu. Ilmu nahwu bisa dikaitkan dengan kehidupan di dunia? Ahh.. Aku fikir sulit untuk ku cerna. Aku tidak bodoh, tetapi jika harus mencerna suatu hal dengan praktis aku fikir tidak, karena semua membutuhkan proses.
Dari semua kegiatan yang kulakukan di pesantren ada satu kegiatan yang sangat aku sukai, yaitu goror atau gotong royong. Dimana goror ini melibatkan semua sanrriyyin dan santriyyat. Karena hanya pada saat goror dan grebeg ngaji kami dikumpulkan. Jadi otomatis kami bisa berinteraksi disana. Walau dibatasi namun itu sudah cukup untuk menghilangkan rasa jenuh. "Cuci mata" ucap salah satu santriyyat. Nakal memang. Tapi bukan hanya aku para santriyyat yang lain juga mengambil kesempatan yang tidak datang setiap hari itu. Menurutku wajar jika laki laki dan perempuan yang sudah cukup dewasa atau baligh melakukan suatu interaksi yang kufikir semua orang tau. Namun ternyata dugaanku salah.
Ternyata dalam islam tidak mengenal suatu hal yang disebut sebagai pacaran. Jangankan pacaran, berduaan dengan laki laki yang bukan mahrom saja sudah dilarang. Malah pondok pesantren yang aku tempati ini memiliki paratutan yang sangat ketat. Para santriyyin dan santriyyat yang ketahuan berduaan tanpa didampingi mahromnya akan dikenakan sanksi atau hukuman. Dan 'kabar baik' nya aku pernah mengalami hal tersebut dimana aku ditonton oleh banyaknya santriyyin dan santriyyat yang lalu lalang melewatiku yang sedang berdiri tegak di lapangan pesantren. Masalahnya aku ketahuan berduaan dengan kak Sofyan, kakak seniorku yang sudah tiga tahun mondok di pesantren Alhasanah ini. Aku tidak punya niat apapun, aku hanya berniat untuk meminjam buku tasrifan milik kak Sofyan karena teman teman ku belum ada yang punya, hanya kak Sofyan yang memilikinya. Maklum, dia adalah salah satu dari banyaknya santriyyin pesantren yang cerdas. Dan aku selanjutnya. Salahnya aku berangkat sendiri ke wilayah Rayon putra tanpa didampingi teman atau siapapun, jadi konsekuensi aku tanggung sendiri. Suara ustadz Nabil masih terngiang ditelingaku hingga kini.
"Anti, ya ukhti. Kenapa anda disini. Lancang sekali anda memasuki area ikhwan tanpa izin. Para akhwat dilarang masuk ke area ikhwan dengan alasan apapun".
Allah, aku tidak bisa berkata apa apa. Aku hanya diam seribu kata. Ustadz Nabil memelototiku yang sedang tertunduk malu. Kumisnya yang lebat semakin membuatku merasa takut untuk menatapnya. Para ikhwan ada yang sampai nongol dari jendela sampai akhirnya disuruh masuk kembali oleh ustadz. Mungkin mereka bertanya-tanya ada apa gerangan dengan ustadz hingga beliau berteriak dengan nada marah seperti itu. Sungguh malu diri ini mungkin kak Sofyan juga sama. Ah, kasian sekali dia gara-gara aku dia jadi terlibat masalah. Saat itu juga kami langsung dibawa ke kantor BP.
Dan hukuman yang kami terima adalah berdiri di tengah lapangan dengan matahari yang tepat berada diatas ku. Tentu saja dalam posisi yang berbeda, aku menghadap ke arah barat sementara kak Sofyan menghadap ke arah timur, kami saling membelakangi dengan jarak kira-kira 5 meter. Tetapi jujur aku katakan, sedikitpun aku tidak punya rasa benci dan dendam kepada ustadz. Malah semua itu aku jadikan motivasi dan pengalaman. Dengan kepala tertunduk namun sesekali aku lirikkan mataku ke kanan dan ke kiri melihat orang-orang yang melihatku dengan tatapan yang sinis. Aku berkata dalam hati kenapa bisa seperti ini? Ketika di kampungku di Bekasi laki-laki dan perempuan yang berduaan sudah bukan hal yang tabu. Malahan mereka dengan sengaja memamerkan kemesraan mereka kepada orang banyak. Namun ketika disini justru berbanding terbalik. Aku malah merasa menjadi seorang anak yang terbuang dengan hanya melakukan satu kesalahan saja, berduaan dengan laki-laki. Tidak sampai disitu, ketika aku kembali ke rayon dan masuk kamar teman-temanku malah mengejekku. Entah apa yang mereka fikirkan tentang diriku. Namun satu teman menjawab pertanyaanku.
"Fa, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang berdua-dua an. Islam tidak mengajarkan hal tersebut, islam itu agama yang suci. Hingga ketika memakai sendal dan pakaian pun ada aturannya. Apalagi ini, hal yang menyangkut kehormatan seorang gadis. Orang tidak berfikir sama semua, Fa. Mereka memliki persepsinya masing-masing.
Ketika ada orang yang melihat kamu dan laki-laki sedang berdua an, ada yang berfikir 'oh mungkin cuma ngobrol biasa' tetapi ada juga Yang berfikir 'Ada apa nih, kok berdua-duan an, jangan jangan.. 'Jika sudah seperti itu kamu sudah membuat orang berdosa dengan suuzan kepada kalian, nantinya Akan timbul fitnah. Kamu tau, 'alfitnatu asyadu minal qotli' fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Tidak ada pacaran dalam Islam. Karena hanya Ada tiga hal yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pria ketika kepincut oleh wanita. Yaitu:khitbah, taaruf Dan aqdunnikah. Aku harap kamu mengerti kenapa ustadz Nabil begitu Marah kepada kalian berdua".
Sesekali aku garuk-garuk kepala mendengar omongan atau lebih tepatnya ceramahan yang disampaikan temanku itu kepada diriku. Sofi namanya. Dia cantik, Dan juga pandai. Tapi tetap lebih pandai aku. Hehe
Pada akhirnya aku faham atas apa yang telah Sofi katakan padaku. Benar sekali, islam tidak membolehkan pacaran. Karena itu Akan sangat mengganggu proses belajar. Yang tadinya kita dituntut untuk memikirkan ilmu, tetapi gara-gara pacaran malah jadi memikirkan laki-laki. Pacaran hanya buang-buang waktu dan hanya membuat patah hati, dominan seperti itu. Bagaimanpun kita tidak pernah tau siapa jodoh kita. Memiliki jalinan kasih bersama seorang pria dalam kurun waktu yang cukup lama namun akhirnya menderita, karena Allah tidak menakdirkan bersama.
Miris sekali melihat kebanyakan anak muda zaman Semarang lebih mengedepankan pacaran daripada ilmu. Seolah-olah mereka gengsi jika tidak memiliki kekasih. Namun mereka seakan-akan bersikap tidak peduli ketika ditanya sifat wajib, mustahil, dan jaiz di Allah, rukun solat ada berapa, fardu wudhu ada berapa, atau bahkan mereka tidak solat? Na'udzu Billahi Mindzalik.
Aku beruntung bisa belajar di pesantren ini. Walaupun letaknya sangat jauh denganku yang berdomisili di Bekasi. Namun semua itu tidak menjadi penghalang untukku mengejar ilmu. Aku mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pengalaman disana, juga memiliki teman-teman Yang baik namun cukup membuatku kesal.
Ipit, sahabat pertamaku. Memiliki nama lengkap Fitri Nurhasanah, namun dia lebih suka jika orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ipit. Dia gadis yang unik, memiliki kulit hitam manis namun tetap cantik dengan tahi lalat dipipinya. dia akan marah jika poster Pretty Zinta Yang tersenyum lebar dengan memakai lehenga biru itu kami copot dari rayon dinding kamar kami. Dan aku salah satu korban kemarahannya. Walaupun demikian, tetap tidak mengusik rasa sayangku padanya.
Sofi, sahabat yang menceramahiku mengenai pacaran itu memiliki nama lengkap Siti Sofianti. Gadis yang sangat lugu, cerdas, dan anggun dengan selalu memakai bros bunga mawar di kerudungnya. Aisyah, sahabatku yang satu ini benar-benar keras kepala, tingkahnya lebih mirip dengan laki-laki. Dia jahil, paling jahil diantara kami. Dia pernah mengunci pintu kamar mandi santriyyat yang didalamnya ada kakak kelas, namun dia harus menerima resiko mengepel seluruh kamar mandi santriyyat. Sebuah perilaku yang tidak patut ditiru. Meskipun begitu, dia baik kepada siapapun. Dia bahkan rela meminjamkan sendalnya padaku walau dia sendiri kesakitan karena tidak pakai sandal. Memang, Allah menciptakan manusia dengan sejuta kelebihan dan kekurangan.
Fuji, nama lengkapnya Siti Fauziatul Hikmah. Kenapa dipanggil Fuji? Bukankah nama itu dominan dipakai oleh kaum Adam, seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo, Ikang Fawzi, dan masih banyak lagi. Kenapa tidak Hikmah, lebih feminin? Ternyata jawabannya adalah nama Fuji mengingatkan ibunda Fuji kepada tempat dimana ibu dan ayahnya bertemu untuk pertama kalinya. Yaitu gunung tertinggi di Jepang, gunung Fujiyama atau gunung Fuji yang terletak di perbatasan Prefektur Shizouka, dan Yamanashi, di sebelah Barat Tokyo. Unik sekali, mengaitkan nama anak dengan nama tempat.
Fuji. Temanku yang sangat cengeng, dia gampang sekali menangis untuk hal-hal yang kecil. Seperti ditinggal sendiri di kamar mandi. Padahal itu memang lumrah dilakukan. Namun pada dasarnya Fuji memang penakut. Aku pernah mengagetkannya dengan satu boneka seram, jadinya dia tidak bicara padaku selama satu hari. "Tidak akan aku ulangi lagi, Ji". Katakku dengan sedikit permohonan maaf, beruntung dia tidak seperti Aisyah yang kalau marah akan sampai berhari-hari.
Aku sangat menyukai duniaku di pesantren. Begitu indah, dan mengesankan. Banyak pengalaman dan kejadian unik yang tersimpan rapi di memori ingatanku. Aku cinta dengan majlis ilmu ini hingga aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku di pesantren milik HJ. Ratu Rahmawati spdi. Ini. Dan alhamdulillah Allah mengabulkan doa-doa ku itu.
Sampai sekarang aku menjadi guru atau Ustadzah dibagian ilmu tajwid. Hari-hari kuhabiskan di pesantren hingga tempat menimba ilmu ini sudah menjadi rumahku sendiri. Allah mempunyai banyak rencana, siapa sangka jika kak Sofyan yang dulu dihukum bersamaku itu menjadi imamku untuk dunia dan akhitatku, menjadi ayah dari Siti Mikayla Khanza Sofyan putriku. Pondok Pesantren Riyadhul Mubtadiin Alhasanah ini adalah rumahku, rumah masa depanku. Aku tinggal disini bersama keluarga kecilku, sementara teman-temanku memiliki kesibukan masing-masing di luaran sana.
"Pagi mengawaliku melangkah menuju majlis ilmu,
senyuman ayah dan ibu mendorongku untuk terus maju untuk menembus dinding ilmu,
lelah tak kufikirkah, jarak bukan halangan, semua ikhlas kulakukan karena-Mu,
Allah, kau taburkan kasih sayang padaku dengan membawaku menuju jalan syurga-Mu,
sebuah tempat dimana ku menemukan kedamaian, kenyamanan, dan sebuah tempat yang menghantarkan ku menuju masa depan"
Komentar
Posting Komentar